Oleh Rosani Hiplee
Matahari ialah sumber cahaya dan tenaga bagi bumi yang menjadi momentum kehidupan. Tanpa matahari, keperluan kehidupan makhluk di dunia ini pasti akan terjejas. Dalam penulisan sastera pula, matahari ialah lambang kehangatan dan semangat dalam kehidupan yang alamiah. Oleh itu, karya kreatif penulis atau penyajak bagaikan matahari yang boleh menginspirasikan dunia pembaca.
Dalam kehidupan semesta juga, matahari merupakan sebutir bintang putih besar yang menerangi bumi pada siangnya. Manakala pada malam hari, seusai tirai senja menyelimuti separuh daripada ufuk barat muka bumi ini, matahari akan memantulkan cahayanya pada bulan bagi menyinari alam maya yang berselubung kegelapan. Demikianlah indahnya ciptaan Tuhan yang Maha Esa.
Apabila mengimbas kejadian alam astronomi ini, iaitu tentang fitrah matahari dan bulan maka demikianlah makna karya sesebuah sajak. Sajak persis bulan yang memantulkan perasaan dan gagasan penulis atau matahari kepada pembacanya. Oleh itu, syabas dan tahniah kepada penulis-penulis muda seperti Sushil Sopran, Mok Kar Mui dan Ashley Nielrikson kerana sajak mereka telah disiarkan dalam ruangan Wadah Bahasa dan Sastera (WBS), akhbar Utusan Sarawak pada hari Khamis yang lepas.
Sajak-sajak yang dinukilkan oleh mereka seolah-olah seperti pesan matahari kepada bulan. Justeru, ketiga-tiga buah sajak yang disiarkan tersebut menanggapi soal perasaan dan pemikiran yang menarik sebagai sebuah perkongsian pengalaman serta pengamatan kendiri. Semua sajak tersebut seperti berusaha menembusi relung cahaya kehidupan yang manusiawi. Mudah-mudahan nilai perasaan dan pemikiran yang ditaakul tersebut dapat memaknakan sesuatu ke jiwa pembacanya.
Sajak “Mekarlah (sayang)” oleh Sushil Sopran bertemakan pesan ibu kepada anak-anaknya yang sudah dewasa dan sedang mulai belajar menemukan arah kehidupan sendiri. Sajak ini disarati pesan-pesan berharga seorang ibu yang sangat berharap anak-anaknya dapat menemukan kehidupan yang baik. Dalam rangkap awal sajak, penulis mengungkapkan kehidupan yang sedang dilewati oleh anak muda. Misalnya dalam rangkap berikut;
Momen indah bersama berhujung
biar pedih,
asalkan kamu selamat pergi
takdir ditetapkan meninggalkan ibumu.
Dirimu dihanyutkan oleh arus alam
seperti saudara-saudaramu juga
hayatilah perjalanan mahal hidupmu.
(rangkap 1 dan 2, sajak “Mekarlah (sayang)”)
Menerusi rangkap seterusnya pula, penulis merangkapkan ungkap pesan ibu kepada anak-anaknya. Misalnya;
Jangka hidup kita pendek kasihku
biar roh bonda berangkat dahulu
semangatku kekal abadi untukmu.
Kau tidak berseorangan sepi sayang
tanah, air, matahari, udara penemanmu
mereka menjaga dan menghiburkanmu.
Saat menguntum serlahkan keanggunanmu
jangan angkuh! Tapi syukuri nikmat Tuhan
spesismu hebat jangan saling berdengki.
Rugi sungguh mensia-siakan nafasmu
maka, manfaatkan hayat panjangmu
pesanilah anak-anakmu nilai hidup.
(rangkap 3-6, sajak “Mekarlah (sayang)”)
Manakala dalam rangkap akhir sajak, penulis menekankan pesan utama dengan menyatakannya berulang kali sebagai memberi penegasan dan semangat untuk diri yang sekali gus merupakan judul sajak ini.
Sajak ini berbentuk bebas dan dibina dalam tujuh buah rangkap yang sederhana panjangnya. Gaya bahasa sajak ini juga biasa dan kata yang digunakan pun tidak lewah sekalipun penulis kerap menggunakan kata yang sama berulang kali, tapi semuanya bertujuan untuk penegasan. Namun demikian, pemilihan kata dalam sajak ini masih memerlukan penelitian kerana penggunaan unsur-unsur persajakan seperti simile, perlambangan, personifikasi, metafora dan lain-lainnya masih perlu diolah bagi memperkukuhkan tamsilan dan ungkapan agar lebih kemas dan tersusun indah.
Apabila menulis sajak, sebaik-baiknya ungkapan kata diteliti dengan peka agar makna sajak disampaikan dengan jelas dan kemas. Misalnya, dalam baris sajak “Momen indah bersama berhujung/biar pedih”. Baris tersebut kurang tuntas apabila dibaca dan dihayati maknanya kerana susunan kata sajak yang kurang kemas. Sebagai saranan, baris tersebut ditulis begini “Momen indah kita/telah berhujung masa/duka diterima rela. Penggunaan kata ganti diri kedua seperti kamu dan kau yang tidak konsisten dalam sajak ini juga tidak dibolehkan kerana menjejas keharmonian ungkapan dalam sajak. Sememangnya, penggunaan kata ganti diri kedua yang sesuai dalam sajak ini ialah kau.
Penggunaan unsur pengulangan dalam sajak sebagai kata penegasan, pengulangan kata yang tepat ialah sebanyak tiga kali. Dalam sajak ini, penulis telah mengulang kata “Mekarlah” sebanyak empat kali. Oleh itu, untuk sajak yang lain, mohon penulis ambil perhatian tentang penggunaan unsur ini.
Walau apa pun, sajak ini mempunyai pesan moral yang baik kerana telah mengajak pembaca untuk memahami apa jua permasalahan dan cabaran dalam kehidupan ini dengan tanggapan yang penuh semangat. Penulis juga telah mengolah sebuah sajak yang cukup baik untuk dikongsikan kepada pembaca walaupun persoalan yang digarap sebenarnya berupa pesanan lewat seorang ibu seperti pesan matahari kepada bulan.
Tentang judul sajak pula, penulis disarankan agar tidak menggunakan tanda kurungan untuk kata “sayang”. Biarkan sahaja judul sajak ditulis sebagai “Mekarlah, Sayang” kerana penggunaan tanda kurungan tersebut tidak perlu dan mengganggu makna tuntas judul sajak tersebut.
Sajak “Cintaku Pada Dia” oleh Mok Kar Mui bertemakan perasaan ibu kepada anaknya. Pada keseluruhan sajak ini, penulis membicarakan tentang perasaan ibu dalam memikirkan perjalanan hidup anaknya yang semakin dewasa. Misalnya;
Pada suatu petang,
Pelangi indah bayu berhembus dingin,
Rusa berlari di padang,
Hadirnya membuat nubari berdegup laju,
Ke sana ke mari resah mengenangkannya.
(rangkap 1, sajak “Cintaku Pada Dia”)
Manakala dalam baris-baris sajak seterusnya, penulis semakin terbawa dengan perasaan kasih yang ibu. Misalnya;
Di gelap marcapada,
Bintang berkelip kejap
Kunang-kunang melayang terbang
Hati sarat dengan cinta
Hati girang kerana dia
(rangkap 3, sajak “Cintaku Pada Dia”)
Pada akhir rangkap sajak pula, penulis menyimpulkan harapan dan hasrat ibu terhadap anaknya agar tidak melupakan mereka sebagai ibu bapa yang selalu berasa bahagia dengan kehadiran anak-anaknya. Misalnya;
Oh tuhan,
Inilah pesanku
Moga ia hadir ke duniaku
Bahagia kami tanpa gusar.
(rangkap 4, sajak “Cintaku Pada Dia”)
Pemilihan kata dalam sajak ini bersahaja, dan terdapat beberapa pernyataan baris sajak yang kurang kemas bagi mengungkapkan persoalan demi persoalan yang hendak diolah. Sajak ini juga berbentuk bebas dan dibina daripada empat rangkap yang sederhana bagi menyatakan persoalan yang ada.
Gaya bahasa sajak masih memerlukan penelitian yang lebih rinci agar penyampaian ungkapannya lebih rapi. Justeru penggunaan unsur-unsur persajakan seperti metafora, perlambangan, personifikasi dan lain-lainnya masih perlu diolah dengan lebih menarik bagi memaknakan baris sajak yang lebih tuntas. Misalnya, dalam pertautan baris bergaris pada rangkap berikut;
Pada suatu petang,
Pelangi indah bayu berhembus dingin
… .
Sebaik-baiknya penulis menyusun semula baris kata bergaris tersebut agar pernyataan sajak lebih kemas apabila dibaca dan difahami. Senario penceritaan dalam rangkap tersebut kurang menggambarkan apa yang penulis ingin ungkapkan. Sebelum pelangi membias alam maya, renyai hujan atau gerimis yang turun terlebih dahulu membasahi bumi. Jika penulis memperlihatkan citra gerimis sebelum pelangi, pasti rangkap sajak ini mempunyai makna yang lebih menggugah.
Selain itu, dikesan juga beberapa baris kata yang dinukilkan penulis dalam sajak ini masih perlu dimurnikan pemaknaannya. Misalnya baris kata, “Di gelap marcapada”, “berkelip kejap”, “Kunang-kunang melayang terbang”, “Hati sarat” dan “Hati girang”. Marcapada bermaksud dunia sekarang tetapi dalam konteks baris sajak seperti memerikan panorama. Penggunaan kata sendi “Di” juga salah. Disarankan baris tersebut ditulis, “Pada gelap alam/langit/malam”. Baris kata “berkelip kejap” pun bukanlah gambaran yang sesuai untuk kerdipan bintang. Oleh itu, penulis boleh menggunakan frasa “berkelap-kelip”. Apabila menggambarkan “Kunang-kunang melayang terbang” sepertinya kurang menarik kerana kunang-kunang merupakan serangga kecil. Barangkali jika ditulis “kunang-kunang riang berterbangan” lebih indah. Manakala bagi baris kata “Hati sarat” dan “Hati girang” pula, penulis harus memilih semula penggunaan kata “hati” yang berulang tersebut kerana pengulangannya bukanlah bertujuan penegasan seperti yang dijelaskan sebelum ini. Gantilah baris kata “hati sarat” tersebut dengan baris kata “jiwa sarat”.
Terakhirnya ialah sajak “Membiru Selalunya Langit” oleh Ashley Nielrikson, sebuah sajak yang bertemakan monolog diri yang peribadi. Pada keseluruhan rangkap sajak, penulis hanya bertamsil tentang rona biru langit yang dikaitkan dengan kehidupan ini. Misalnya;
Biru itu seruannya langit,
Keindahannya tetap tiada pasang surutnya,
Membiru terpuji penuh makna abstrak,
Sebirunya langit adakah benar kenyataannya.
Membiru selalunya langit,
Ungkapan hebat tidaklah berapa,
Akan tetapi sesuai menjadi capaian,
Buat pemimpi yang ingin mencapai.
(rangkap 1-2, Sajak “Membiru Selalunya Langit”)
Pada baris akhir sajak, penulis menyimpulkan bahawa rona biru adalah benar bagi menggambarkan keindahan hidup jika difahami dan diterima makna kelainannya. Misalnya;
Seruan biru bukannya palsu,
Jika canggah hilanglah makna,
Maka fahami erti kelainan,
Agar diri wajar terbukti.
(rangkap 3, “Membiru Selalunya Langit”)
Bentuk sajak ini bebas dan dibina daripada tiga buah rangkap yang sederhana panjangnya bagi menyatakan tamsilan penulis. Gaya bahasa sajak ini masih memerlukan penelitian semula agar makna kata sajak lebih kukuh unsur pengolahannya. Pemilihan kata sajak mudah difahami. Tetapi penulis masih perlu lebih mahir untuk memanipulasi kata yang lebih tuntas maknanya pada keseluruhan persoalan dan naratif dalam sajak ini. Oleh itu, sangat digalakkan agar penulis mahu membaca sajak-sajak penulis mapan yang diminati agar penulis dapat menemukan proses pengolahan sajak yang lebih terampil ungkapannya.
Ungkapan yang ditata dalam rangkap sajak ini pun agak melalut pemaknaannya apabila baris-baris sajak ini ditamsil dengan teliti. Penulis perlu mengkhususkan ambiguiti rona biru dengan lebih tuntas dan jelas. Misalnya pada kata yang bergaris berikut;
Biru itu seruannya langit,
Keindahannya tetap tiada pasang surutnya,
Membiru terpuji penuh makna abstrak,
Sebirunya langit adakah benar kenyataannya.
Membiru selalunya langit,
… .
Seruan biru bukannya palsu,
… .
Kata-kata yang bergaris tersebut merupakan ungkapan yang mengelirukan pembaca. Oleh itu, sebaik-baiknya sebagai penulis pemula janganlah menggantung makna kata terlalu tinggi hingga sukar dicapai akal yang fitrah. Penulis tidak mengaitkan perihal rona biru dalam konteks makna sebenar yang ingin diolah dalam sajak ini. Apakah perkaitan biru itu seruan dari langit? Apakah yang dimaksudkan keindahannya tetap sama? Padahal, langit sebenarnya tidak selalu biru kerana ada kalanya berwarna kelabu kerana cuaca mendung. Hal ini selalu dikaitkan dengan falsafah kehidupan yang sebenarnya tidak selalu baik-baik sahaja kerana adanya perubahan dalam kehidupan itu sendiri. Oleh itu baris “Membiru selalunya langit” juga kurang tepat.
Selain itu, baris kata bergaris “Membiru terpuji penuh makna abstrak” juga kabur pemaknaannya. Rona biru, adakah melambangkan kepujian? Manakala pertanyaan dalam larik kata, “Sebirunya langit adakah benar kenyataannya” tidak mempunyai tanda soal. Oleh itu, sangat disarankan agar penulis mahu menyemak semula pengolahan sajak ini dengan belajar memahami gaya bahasa penulisan sajak. Setidak-tidaknya penulis boleh memanfaatkan citra rona biru dengan jalinan metafora yang akan menyuratkan makna yang tersirat dengan lebih indah.
Apabila membaca sepintas judul “Membiru Selalunya Langit”, ia akan membawa makna kehidupan yang manusiawi. Tetapi yang sebenarnya tamsilan penulis dalam sajak ini berbeza daripada kelaziman. Oleh itu, penulis perlu merungkai kekaburan sajak ini agar sajak ini tidak hanya sebuah monolog yang sepenuhnya peribadi hingga tidak mampu memantulkan cahaya tamsilan yang mahu disebarkan.
Semoga dengan teguran dan saranan yang ada, penulis dapat memahami apa yang mahu disampaikan dengan berlapang rasa dan tanggapan. Rumusnya, ketiga-tiga buah sajak yang dibicarakan tadi masih mempunyai pantulan tamsilannya yang menarik dikongsikan. Semoga para penulis muda ini terus bersedia tampil dengan hasil sajak yang ingin diolahnya dengan memanfaatkan sepenuhnya teknik penulisan sajak yang lebih menyeluruh.
Sesungguhnya, kebolehan dan keberanian Sushil Sopran, Mok Kar Mui dan Ashley Nielrikson dalam menulis sajak wajar diberikan ruang dan peluang yang lebih khusus pembelajarannya. Justeru mereka jelas berpotensi dalam memperlihatkan nilai kepenyairan diri. Cuma mereka perlu lebih memahami proses penulisan sajak agar olahan sajak lebih komunikatif dan bermakna. Mudah-mudahan sikap positif teguh menjejaki diri ke jalan kritik yang lebih membina dan terbuka. Syabas dan sukses, selalu!